Technology

BREAKING

Rabu, 14 Mei 2014

MAKALAH POLIGAMI

MAKALAH POLIGAMI


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu:
AHMAD IZZUDDIN, M.HI
NIP. 19791210 200801 0 10



Oleh : 
Wibisono Nugroho (NIM. 13210155)

                                                 KELAS D               

JURUSAN AL-AKHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
 TAHUN 2014

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim,
Puji syukur penulis ucapkan  kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Poligami”. Selanjutnya, sholawat dan salam buat habibullah (Nabi Muhammad SAW) yang telah mengubah tatanan kehidupan dari jahiliah  ke kehidupan yang di penuhi  oleh ilmu pengetahuan ini.
Akhirnya penulis menyadari  akan kekurangan makalah ini, oleh karena itu penulis meminta ma’af yang sebesar besarnya. Penulis juga berharap, semoga pengetahuan  ini dapat memberikan manfa’at  bagi teman teman dan siapa saja yang membacanya. Ucapan terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqh Munakahat “Ahmad Izzuddin, M.HI”  yang telah banyak menyampaikan pengetahuannya, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini berdasarkan berbagai rujukan dan pengetahuan yang ada. Selanjutnya, penulis tetap mengharapkan saran dan kritiknya untuk kesempurnaan makalah ini. Atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terimakasih.


Malang, 10 Maret 2014


Penulis            

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................... i
Daftar Isi.......................................................................................................................... .ii..
BAB I :PENDAHULUAN
    A.  Latar Belakang......................................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C.  TujuanMasalah......................................................................................................... 2
BAB II :PEMBAHASAN
A.  Pengertian Poligami................................................................................................. 3
B.  Hukum dan Hukum Dasar Poligami........................................................................ 3
C.  Tujuan Poligami Dalam Islam.................................................................................. 6
D.  Syarat-Syarat Poligami............................................................................................. 7
E.   Kriteria Adil Dalam Poligami................................................................................ 10
F.   Prosedur Poligami di Indonesia............................................................................. 12
G.  Hikmah Poligami.................................................................................................... 15
Hasil Study Lapangan..................................................................................................... 17..
BAB III: PENUTUP
      Kesimpulan............................................................................................................ 18
      DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 20..

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang.
Poligami merupakan suatu tindakan yang saat ini masih menjadi pro kontra di masyarakat.  Hal ini dikarenakana perbedaan pendapat / pandangan masyarakat. Masih banyak yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan negatif.
Hal ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum ada Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan.
Tujuan hidup keluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Poligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi hilang. Hal ini tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang tidak setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami
Berbicara tentang poligami, ini bukan lagi merupakan pembicaraan yang baru dikenal dan hal yang baru ada dikehidupan manusia, bahkan poligami merupakan warisan yang membudaya dikehidupan manusia. Akan tetapi masalah poligami akhir-akhir ini masih saja menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai baik dikalangan orang muslim sendiri ataupun non muslim, meski mereka sudah tahu bahwa hal itu merupakan suatu ajaran atau syari'ah yang harus diterima keberadaannya.
Poligami bukan hanya gencar menjadi pembicaraan dikalangan muslim saja, orang non muslim juga tak habis-habisnya mempermasalahkan praktek poligami, bahkan mereka sampai melontarkan tuduhan pada Nabi kita bahwa beliau adalah orang hiperseksual. Tapi kalau merunut pada sejarah dan Al-kitab yang mereka miliki ternyata para pendahulu-pendahulu mereka bahkan para nabi-nabi mereka sudah terbiasa melakukan praktek poligami.
Dan poligami dalam islam adanya bukan tanpa tujuan dan alasan yang rasional, seperti yang kita ketahui bahwa semua yang telah menjadi aturan dan hukum dalam islam itu sudah ada alasan dan hikmah yang terkadang kita kurang menyadari dan memahami.

B.       Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis memberikan perumusan masalah khususnya yang berkenaan dengan kajian Poligami. Untuk itu penulis merumuskan masalah, sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari Poligami ?
2.      Bagaimana Hukum dan Dasar Hukum Poligami ?
3.      Apa Tujuan Poligami dalam pandangan Islam ?
4.      Apa Syarat-syarat dari Poligami ?
5.      Bagaimana pengertian adil dalam Poligami ?
6.      Bagaimana Prosedur Poligami di Indonesia ?
7.      Apa Hikmah dari Poligami ?

C.      Tujuan Pembahasan.
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah adalah sebagai berikut:
1.      Dapat Mendefinisikan Pengertian dari Poligami.
2.      Dapat Mendefinisikan Hukum dan Dasar Hukum Poligami.
3.      Menjelaskan tujuan Poligami dalam Islam.
4.      Dapat Menyebutkan Syarat-syarat Poligami.
5.      Dapat Menjelaskan Kriteria adil dalam Poligami.
6.      Menejelaskan prosedur Poligami di Indonesia.
7.      Dapat Menyebutkan Hikmah Poligami.


BAB II
PEMBAHASAN

1)      Pengertian Poligami.
Dari segi bahasa, poligami berasal dari bahasa Yunani, poly atau polusyang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa, poligami berarti suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang, baik pria maupun wanita. Poligami bisa dibagi atas poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki. Sedangkan poligini adalah perkawinan seorang laki- laki dengan lebih dari seorang perempuan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.[1] Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer, poligami adalah perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih, namun cenderung diartikan perkawinan satu orang suami dengan dua istri atau lebih.[2]
Menurut istilah, poligami merupakan ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami.[3] Dengan singkat poligami adalah beristri lebih dari satu.
Walaupun dalam pengertian tersebut ditemukan kalimat “salah satu pihak,” akan tetapi karena istilah perempuan yang mempunyai banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud dengan poligami di sini adalah ikatan perkawinan, dengan seorang suami punya beberapa orang istri (poligini) sebagai pasangan hidupnya dalam waktu yang bersamaan. Dalam pengertian itu tidak dicantumkan jumlah istri dalam berpoligami, tetapi Islam membatasinya sampai empat orang. Kalau ada keinginan suami menambah lagi, maka salah satu dari yang empat itu harus diceraikan, sehingga jumlahnya tetap sebanyak empat orang istri.[4]

2)      Hukum dan Dasar Hukum Poligami.
Yaitu Terletak pada surat An-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ   
Artinya : “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ : 3)[5]
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
Artinya : “ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[6]
Sejak masa Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
1.      Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
2.      Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa arab.
3.      Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian  jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (QS.An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.
4.      Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain karena kecintaannya terhadap istrinya.
5.      Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu memberi nafkah bagi orang ayaang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.[7]
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[8]

3)      Tujuan Poligami dalam Pandangan Islam.
1.      Kebebasan individual: setiap orang bebas dan bertanggungjawab untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri, entah jumlah pasangannya nol, satu, dua atau pun tiga.
2.      Cinta; kalau seorang pria jatuh cinta pada seorang perempuan dan demikian juga sebaliknya, maka pasangan ini berhak untuk kawin kendatipun ini bukan perkawinan pertama mereka dan juga bukan dengan pasangan pertama.
3.      Ekonomis: kalau seorang laki-laki bisa menghidupi ekonomi sekian istri dengan semua anak mereka, ia memiliki modal ekonomi kuat untuk berpoligami.
4.      Dukungan psikologis: jika istri-istri tua rela menerima kehadiran istri-istri muda, si suami tidak mengalami kendala internal untuk ia berpoligami.
5.      Berpoligami bukanlah tindakan kriminal (sekalipun ada UU Perkawinan), apalagi jika poligami dilakukan karena alasan cinta.
6.      Poligami tidak otomatis akan membuahkan ketidakadilan gender, jika si suami sungguh-sungguh dapat memperlakukan semua istrinya dengan respek, cinta dan keadilan.
7.      Poligami tidak otomatis menghina dan merendahkan kaum perempuan, malah bisa terjadi hal sebaliknya.
8.      Poligami tidak otomatis menodai atau merendahkan agama apapun, sejauh orang yang berpoligami tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan setia.
9.      Poligami paralel dengan tindakan membentuk masyarakat yang jumlah anggotanya lebih besar.
10.  Poligami adalah seni yang lebih advanced membangun rumah tangga; dan tidak ada satu karya senipun yang harus dimusuhi.[9]

4)      Syarat-Syarat Poligami.
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi perempuan.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda. Dan Islam mempersyaratkan 4 hal:
1.      Seorang yang mampu berbuat adil
Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً
(yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)
2.      Aman dari kelalaian beribadah kepada Allah
Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami. Allah Ta’ala berfirman :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä žcÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9 öNèdrâx÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#rãÏÿøós?ur  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÍÈ  
Artinya : “Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu[1479] Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taghabun: 14)
[1479] Maksudnya: kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama.
3.      Mampu menjaga para istrinya
Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4.      Mampu memberi nafkah lahir
Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami. Allah Ta’ala berfirman :
É#Ïÿ÷ètGó¡uŠø9ur tûïÏ%©!$# Ÿw tbrßÅgs %·n%s3ÏR 4Ó®Lym ãNåkuŽÏZøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 tûïÏ%©!$#ur tbqäótGö6tƒ |=»tGÅ3ø9$# $£JÏB ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkŽÏù #ZŽöyz ( Nèdqè?#uäur `ÏiB ÉA$¨B «!$# üÏ%©!$# öNä38s?#uä 4 Ÿwur (#qèd̍õ3è? öNä3ÏG»uŠtGsù n?tã Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ) tb÷Šur& $YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# 4 `tBur £`gd̍õ3ム¨bÎ*sù ©!$# .`ÏB Ï÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î) Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÌÈ  
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka[1036], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[1037]. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu[1038]. (QS. An-Nur: 33)
[1036] Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, Yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan Perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima Perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi Perjanjian itu dengan harta yang halal.
[1037] Untuk mempercepat lunasnya Perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.
[1038] Maksudnya: Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi.
Dalam Hukum Indonesia Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan atau ingin mempunyai istri lebih dari seorang sebagai berikut:
1)      Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)      Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri.
b)      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c)      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2)      Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.[10]

5)      Kriteria adil dalam Poligami.
Berlaku Adil Terhadap Para Isteri.
Syariat islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dlam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menikah dengan empat orang. Jika ia sanggup memeuhi ha dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.
Dalam sebuah hadits nabi SAW, juga disebutkan:
عن ابى هريرة ان النبيّ صلى الله عليه وسلم قال: من كانت امراتان فمال الى  احداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل (رواه ابو داود والترميذى  والنسائى وابن حبان)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi saw. Bersabda: “barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang hari kiamat nanti dengan punggung miring. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan ibnu hiban)
Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah SWT. Dalam surat Al-nisa :129:
“ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,karena itu janganlah kamu terlalu cenderung(kepadanya yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (QS. An-nisa : 129)
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat al-nisa’ diwajibkan berlaku adil, sedangan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan kemampuan manusia. kemudian dapat kami kelompokkan hal-hal, yang mana seorang suami dituntut untuk dapat berlaku adil. Sebagai berikut:
·         Keadilan dalam cinta dan kasih sayang.
Abu bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak balikkannya menurut kehendakNya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak begitu dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukum dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karena itu, tidaklah dipaksa untuk melakukannya.
Aisyah r.a berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم فيعد  ويقول : اللهم هذا قسمي فيما
 املك فلا املك فلا تلمنى فيما تملك ولا املك قال ابو داود يعنى القلب
Artinya: Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berkata: ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu, janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau kuasai, sedang aku tidak menguasainya.” Abu dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “ Engkau tetapi aku tidak menguasai yaitu hati. ( HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan ibnu Majah)
Menurut Al-khaththabi hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.
Keadilan dalam mengadakan perjalanan (memilih istri yang akan menemani perjalanan suami).
Jika suami mengadakan perjalanan hendaklah dia mengajak salah seorang diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan undian. Dalam hal ini, khaththabi juga berkata giliran yang dilakukan Rsulullah Saw. Terkadang ada yang mendapat saing hari, dan terkadang juga ada yang mendapat malam hari. Dalam masalah giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya hibah dalam masalah harta benda. Kebanyakan ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemani suami bepergian, maka hari-hari digunakan itu dijumlahan dan diganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunaannya itu tida menyebabkan ia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan.
Kebanyakan Ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemani suaminya bepergian, maka hari-hari digunakan itu tidak dijumlahkan dan diganti dengan hari-hari yang lainnya dan hari-hari yang digunakannya itu tidak menyebabkan ia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan diganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan sekian kali masa giliran dan masa banyak.
Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijmak sebagian besar ulama. Disamping itu, walaupun ia mendapatkan hari-hari menemani suaminya lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat. Selain itu prinsip keadilan juga menola hal ini. Sebab, alau disamaan berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah masud dari hadis berikut, yang memperbolehkan istri mendapat giliran dari suaminya untuk tidak menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya ia boleh memberikan kesempatan bepergian kepada istri yang lain.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم. اذا سفر اقرع بين نسائه فايتهنّ خرج سهمها خرج بها معه وكان وكان يقسم بكلّ امراة منهنّ يومها  غير انّ سودة بنت زمعة وهبت  يومها  لعا ئشة
 “ Rasulullah, jika mau bepergian, beliau mengadakan undian diantara para istrinya.Maka mana yang mendapat giliran. Dialah yang akan keluar menemani beliau. Dan beliau menggilir istri-istrinya pada hari-hari yang ditentukannya, kecuali bagian saudah binti Zama’ah diberikannya hari gilirannya kepada aisyah.”
·         Keadilan dalam giliran tidur bersama istri.
Dalam hal giliran tidur bersama, kalau suami bekerja di siang hari, hendaklah diadakan giliran di malam hari. Dan apabila bekerja di malam hari maka gilirannya siang hari, maka ia harus bermalam pula pada istri yang laim selama dua atau tiga hari. Bila is sedang berada dalam giliran seorang istri,  maka ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali kalau ada keperluan yang sangat penting, misalnya istri sedang sakit keras atau sedang bahaya lainnya. Dalam keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah istrinya itu walaupun ia sedang dalam giliran istri yang lain. Demikian juga bila diantara istri-istri itu sduah kerelaan dalam masalah ini.
Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Aisyah disebutkan:
عن عا ئشة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلما يفضل بعضنا على بعض فى القسم من مكثه عند نا  وكان قلّ يوم لا وهو يطوف علينا جميعا فبدء نوا من كلّ امراة من غير مسيس حتى يبلغ التى هو يومها فيبيت عندها( رواه ابو داود واحمد)
 “ Dari Aisyah r.a berkata : “Rasullah SAW. Tidak melebihkan sebagian kami diatas yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali kepada kami, walaupun sedikit sekali waktu bagi Rasulullah. Tapi beliau tetap bergilir kepada kami. Beliau mendekati istri-istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai kepada istrinya yang mendapat giliran itu, lali ia bermalam dirumahnya”. ( HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis Lain juga menyebutkan:
عن انس رضى الله قال: كا النبي صلى الله عليه وسلم يطوف على نسائه فى اليلة الواحدة وله يومئذ تسع نسوة(رواه البخارى ومسلم)
 Dari anas r.a berkata: “Nabi Saw. Bergilir kepada istri-istrinya pada suatu malam, dan bagi beliau ketika itu ada smbilan orang istri. ( HR. Bukhari dan Muslim)”
Seorang suami boleh masuk kepad istri yang bukan gilirannya disiang hari sekedar meletakkan barang atau memberi nafkah dan tidak boleh masuk untuk berkasih mesra .
Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu malam, dan sebanyaknya tiga malam. Tidak memperbolehkannya melebihi tiga malam/hari agartidak menyebabkan adanya “penyerobotan” diantara istri-istri yang lain. Karena gilirannya yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak dari yang lain, yang berarti telah berbuat durhaka.
·         Keadilan dalam member nafkah.
Memberikan nafkah belanja yang berupa sandang pangan maupun papan kepada para istri dan anak-anak merupakan amal yang sangat utama. Nafkah yang kita berikan kepada mereka itu termasuk sedekah yang tentunya mendapat pahala dari Allah SWT. Firman nya dalam surat at-thalaq ayat 7 menyebutkan
لينفق ذوسعة من سعته ومن قدرعليه رزقه فلينفق ممّا اتاه الله لايكلّف الله نفسا الا مااتاهاسيجعل الله بعد عسريسرا
Artinya hendaklah orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dan harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Ath. Thalaaq 7)
Sandang dan pangan merupakan kewajiban seorang suami kepada istrinya yang dalam istilahnya disebut nafkah. Bila seorang suami mempunyai istri lebih dari satu kewajiban memberi nafkah yang berupa sandang dan pangan kepada para istrinya haruslah bersifat “adil”. Namun.keharusan adil dalam hal ini sebenarnya diambil dari penafsiran hukum pada sebuah kalimat dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
فان خفتم الا تعدلوفواحدةاوماملكت ايمانكم
Tetapi apabila kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah seorang wanita saja.
Jadi, berbuat adil terhadap para istri bagi seorang suamui yang mempunyai istri lebih dari satu dalam memberikan sandang, pangan dan papan adalah wajib. Tetapi kewajiban suami dalam memberikan nafkah sandang pangan dan papan kepada istri-istrinya itu tidaklah harus sama rata atau sama besar, karena makna adil dalam suatu kaidah disebutkan
وضع شيع في مو ضعه
Maksudnya adil itu adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Jadi, memberikan nafkah yang berupa sandang pangan dan papan bagi seorang suami yang mempunyai istri tidaklah harus sama. Contoh memberikan belanja yang berupa uang kepada istri pertama lebih besar dari pada memberikan uang kepada istri kedua, karena dimungkinkan istri pertama sudah mempunyai anak sementara istri kedua belum, itu baru bisa diakan adil.
6)      Prosedur Poligami di Indonesia.
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Ø  Pasal 56 KHI
1)      Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2)      Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3)      Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ø  Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a)      Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b)      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c)      Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI :
a)      Ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b)      Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan;
c)      Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
                                         i.            Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
                                       ii.            Surat keterangan pajak penghasilan, atau
                                     iii.            Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Ø  Pasal 58 KHI
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:
1)      Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
2)      Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin dimintai persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan (bandingkan juga dengan Pasal 58 KHI). Namun, bila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai percatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas, dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
1)      Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a.       Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b.      Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman  kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2)      Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas, merupakan pelanggaran   
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridhai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi
Status hukum poligami adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatisf untuk beristri hanya sebatas 4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
1.      Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2.      Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3.      Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.
Dasar pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibn Hibban yang mengugkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka bersama-sama, dan dia masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya dan menceraikan yang lainnya.

7)      Hikmah Poligami.
Islam adalah kata akhir Allah yang dengannya ia menutup risalah-risalah sebelumnya. Karena itulah, ia juga membawa syariat yang universal dan abadi, untuk seluruh penjuru dunia untuk semua zaman dan untuk semua umat manusia.
Ia tidak membuat syariat untuk orang kota dengan melalaikan orang desa, tidak untuk masayarakat daerah beriklim dingin dengan merupakan masyarakat beriklim tropis dan tidak pula suatu abad dengan melupakan abad dan generasi lain.
Ia telah mengukur kebutuhan individu, kebutuhan masyarakat, sekaligus kadar kepentingan semua pihak. Ada diantara mereka yang memiliki semangat besar untuk memiliki keturunan, akan tetapi diberi rezeki dengan istri yang tidak beranak karena mandul, berpenyakit, atau sebab lainnya.
Ada satu diantara tiga pilihan bagi perempuan yang jumlahnya berlebih dibanding dengan jumlah laki-laki:
1)      Menghabiskan seluruh masa hidupnya dengan menelan kenyataan pahit tidak mendapatkan jodoh.
2)      Melepaskan kendali, menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki hidung belang yang diharamkan.
3)      Atau menikah dengan seorang laki-laki beristri yang mampu memberi nafkah dan berlaku baik.
Tidak diragukan lagi, cara terakhir adalah alternatif yang adil, dan merupakan solusi terbaik terhadap permasalahan yang akan dihadapinya. Dan itulah keputusan hukum islam.
Itulah poligami, yang tidak diterima orang-orang barat yang Nasrani itu. Mereka mencibir dan memperolok-olok kaum muslimin dengan syariat yang membolehkan poligami ini. Namun pada waktu yang bersamaan, mereka mengizinkan kaum lelakinya berhubungan dengan perempuan-perempuan nakal dan teman-eman hidup tanpa batas atau pun perhitungan, tidak berdasarkan pada undang-undang atau pun norma yang patut bagi perempuan dan keturunan yang dilahirkan, sebagai buah dari “poligami” atheis dan amoral.
Dapat di simpulkan bahwa hikmah poligami diantaranya yaitu :
1.      Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul
2.    Untuk menjaga keutuhan keluarga  tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat  atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan
3.      Untuk menyelamatkan suami  dari  hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya
4.  Untuk menyelamatkan kaum wanita  daari krisis akhlak yang tinggal di Negara  yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari pada kaum laki-lakinya.


HASIL STUDY LAPANGAN

Disini kita melakukan study penelitian lapangan dengan dua metode, Yakni dengan datang ke Pengadilan Agama dan surve kepada para mahasiswa tentang pandangan mengenai poligami itu sendiri. Berikut ini adalah hasil study penelitian lapangan kita :
A.    Hasil dari Pengadilan Agama.
Di Pengadilan Agama Kabupaten Pasuruan, Hasil wawancara kami dengan Bapak Drs. Darisi, SH. Kasus-kasus poligami yang terjadi dikarenakan beberapa hal yang membuat si suami mengajukan permohonan untuk  melakukan poligami, diantaranya :
1.      Istri tidak bisa melayani suami.
2.      Istri tidak mau punya anak lagi, sedangkan suami masih menginginkan anak lagi.
3.      Istri yang tidak bisa memberikan keturunan (Istri tidak bisa melahirkan).
4.      Istri Mempunyai sakit permanen.
B.     Hasil Surve para mahasiswa.
Dari surve yang telah kami lakukan dari 60 mahasiswa, yang terdiri dari 30 mahasiswa putra dan 30 mahasiwa putri. Mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai kasus poligami ini. Berikut hasil surve yang telah kami lakukan :
1.      Mahasiswa yang tidak menyetujui poligami, 33 orang di antaranya adalah perempuan dan 3 orang laki-laki . Dari mereka yang setuju poligami, 27 orang adalah laki-laki.
2.      Mahasiswa yang tidak setuju poligami mayoritas memberikan alasan karena tidak mau dimadu yakni 25 orang. Sedangkan 27 mahasiswa menyetujui poligami karena alasan beristeri lebih dari satu orang itu dibenarkan oleh Islam.
3.      Surve yang kami lakukan, lebih dari separuh mahasiswa yang diteliti, yakni 31 mahasiswa menyatakan menentang bila ayahnya melakukan poligami. Hanya 13 mahasiswa yang menjawab biasa saja ayahnya berpoligami.
4.      Namun, ada sebagian mahasiswa yakni 9 mahasiswa yang menyatakan marah bila ayahnya berpoligami. Sebagian mahasiswa, 7 mahasiswa menjawab malu bila ayahnya berpoligami.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Poligami merupakan ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Dengan singkat poligami adalah beristri lebih dari satu.
Poligami itu mubah (dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda. Dan Islam mempersyaratkan 4 hal:
Ø    Seorang yang mampu berbuat adil.
Ø    Aman dari kelalaian beribadah kepada Allah
Ø    Mampu menjaga para istrinya
Ø    Mampu memberi nafkah lahir
Dalam hal syarat keadilan melakukan poligami yang sarat dengan masalah terkait dengan boleh atau tidaknya(dilarang) karena hal-hal tertentu ataupun pemahaman-pemahaman lainnya. Adil memang menjadi syarat muthlaq menurut penulis terlepas dari apakah ia syarat Hukum ataukah syarat Agama karena disinilah yang menjadi kesepakatan bersama para Ulama, yang menjadi perbedaan hanya konsep yang dibangun oleh masing-masing mereka dalam memahami ayatnya. Kami hanya dapat mengatakan bahwa poligami bisa menjadi solusi dalam keadaan tertentu dimana keadaan yang hanya bukan dharury. Karena secara teoritis ayat yang menjadi landasan berpoligami tidak bisa kita pahami demikian. Sebab pembahasan mengenai poligami dalam pandangan Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi, serta melihat pula sisi pemilihan aneka alternatif yang terbaik. Bukankah hal yang wajar bagi suatu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadiannya baru merupakan kemungkinan.
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam.
Dapat di simpulkan bahwa hikmah poligami diantaranya yaitu :
1.      Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul
2.      Untuk menjaga keutuhan keluarga  tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat  atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan
3.      Untuk menyelamatkan suami  dari  hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya
4.      Untuk menyelamtkan kaum wanita  daari krisis akhlak yang tinggal di Negara  yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak daripada kaum laki-lakinya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Mawardi Abi Hasan, Al-Kabir Al-Hawi, Darul Kutub Ilmiyah Juz 9, Lebanon, 1999
Qurtubi Imam, Darul Kutub Ilmiyah juz 2, Lebanon, 2005
Al-Qur’an dan Terjemahan
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 2012
Partanto Pius A. dan al-Barry M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Mulia Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
Al-Qoshir Fada Abdul Razak, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004
Ali Zainuddin , Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Anshary M, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.








[1] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 2012), h.45
[2] Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h.52
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994)
[4] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 13
[5] QS. An-Nisa’ (4): 3.
[6] QS. An-Nisa’ (4): 129.
[7] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal. 42-45
[8] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) h. 200
[9] Azhar Basyir, Ahmad, MA, KH.,  Hukum Perkawinan Islam, (Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007) h. 76
[10] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 47.

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 TWIEN NUGROHO
Design by FBTemplates | BTT